Aku sempat kaget, dan langsung tersadar dari lamunan panjangku, sepontan aku melihat ke arah datangnya suara, ternyata yang barusan mengucap salam adalah Kinasih isteriku, ia masih berdiri didekat pintu pekarangan, meskipun raut mukanya tampak agak sedikit kusut, mungkin karena kecapean setelah kerja seharian, tapi senyum manisnya masih tetap menghiasi bibir mungilnya, senyuman yang slalu aku kagumi, dan sama sekali tidak pernah membuatku merasa bosan meski sudah ribuan kali atau mungkin sudah jutaan kali aku melihatnya, dan tidak bisa aku pungkiri, senyuman itu pula yang membuat aku tertarik padanya waktu pertama kali aku mengenalnya sekitar tujuh tahun yang lalu, meskipun saat itu sama sekali tidak pernah terlintas dalam bayanganku kalo gadis manis dan ramah yang tidak pernah lepas dari jilbabnya itu akan jadi jodohku dan akan menjadi pendampinghidupku sampai sekarang, tapi aku berani bersumpah, kalau sampai detik ini aku msih berharap dialah yang akan selalu jadi pendamping hidupku untuk selamanya.
Terlihat istriku melangkah menghampiriku, dan setelah berdiri di hadapanku, ia meraih tangan kananku untuk didekatkan pada wajahnya kemudian mengecupnya, seperti yang biasa ia lakukan ketika mau berangkat atau pulang kerja, ia pun membuka obrolan dengan memberiku sebuah pertanyaan "Zilki, udah pulang ?" tanya istriku, zilki adalah satu - satunya buah hati kami yang pada tanggal enam agustus bulan depan usianya baru genap menginjak empat tahun. " Belum, paling nanti agak sorean" jawabku, istriku menanyakan Zilki karena anaku itu dari kemarin pagi dibawa nenek dan kakeknya yaitu bapak dan ibu mertuaku main ke rumah Kang Cahya kakak iparku, "Ya udah sekarang mendingan Ade makan makan dulu terus istrahat, biar kalo nanti Zilki pulang udah ga capek" usulku pada istriku, seperti tidak peduli dengan kata - kataku istriku malah balik bertanya " Emang Aa udah makan,,?" aku hanya menganggukan kepala sebagai jawaban untuk pertanyaan isteriku, " Eh iya A,,uang gaji Aa udah diambil belum..." istriku mengajukan pertanyaan terakhirnya, "Belum, tadinya mau aku ambil kmarin di ATM, tapi kata Ibu jangan dulu diambil biarin aja katanya" aku menjawab pertanyaan istriku seadanya, terlihat istriku mengernyitkan keningnya dan dari mulutnya hanya keluar kata pendek "Ko...!!!" tampaknya ia merasa heran, " ya udah biarin aja , orang itu maunya Ibu, mendingan sekarang Ade cepetan makan dan istrahat, Ade pasti capek habis kerja dari pagi" aku menutup percakapan kami, istrikupun menurut, ia langsung masuk kedalam rumah dan meninggalkanku bengong sendiri di teras rumah seperti sebelumnya.
Sebenarnya bukan hanya Kinasih isteriku yang merasa heran dengan sikap ibu mertuaku kali ini, tapi aku juga benar - benar merasa heran karena sikap mertuaku kali ini benar - benar beda dari biasanya, mungkin bagi kami bisa dibilang ini kejadian langka dan baru terjadi sekarang, karena dari awal kami menikah enam tahun yang lalu, setiap awal bulan pas tanggal aku gajian, Ibu mertuaku itu tidak pernah lupa untuk wanti - wanti supaya aku langsung mengambil uang gajiku dan setelah sampai di rumah aku harus langsung memberikan lebih dari separuh uang gajiku itu pada ibu mertuaku, dan sisanya baru boleh aku serahkan pada istriku Kinasih, kadang aku suka merasa kasihan juga pada isteriku, karena uang gajiku sebagai buruh pabrik yang jumlahnya tidak seberapa, apalagi setelah di potong lebih dari separuhnya sebagai setoran wajib bulananku pada ibu mertuaku yang samasekali kami tidak tahu tujuannya untuk apa, bisa di bayangkan utuhnya aja tidak seberapa apalagi sisanya pasti lebih tidak seberapa lagi, tapi untungnya masih cukup untuk jatah bulanan susu formula Zilki selama sebulan,dan sisanya yang pastinya lebih tidak seberapa lagi selalu disimpan dan dikumpulkan oleh isteriku, untuk membayar kontrakan rumah kami kalo sudah waktunya membayar, emang sih kalau di bandingka dengan di kota besar, sewa rumah kami itu terbilang murah cuma empat juta setengan pertahunnya dan itu sudah cukup nyaman untuk kami tinggali berlima bersama kedua mertuaku, tapi dengan begitu otomatis untuk biaya makan sehari - hari dan biaya tek - tek bengek lainnya kami harus mengandalkan uang gaji istriku, tapi mesti bagaimana lagi, karena kami tidak mungkin menentang aturan kedua mertuaku itu, apapun yang jadi keputusan mereka, bagi kami seperti undang - undang yang tidak boleh kami langgar dan harus kami jalankan, perintahnya layaknya titah seorang raja pada para hulubalangnya mutlak harus kami laksanakan,sedikit saja kami berani menentangnya, resikonya kami langsung divonis bersalah tanpa diadili terlebih dahulu, seperti kejadian sehabis lebaran tahun kemarin, waktu itu aku dan Kinasih punya rencana untuk kredit rumah di perumahan yang tidak jauh dari tempat tinggal kami sekarang, kebetulan waktu itu kami punya sedikit uang dari THR kami ditambah sedikit simpanan kami, yang kami rasa cukup untuk membayar uang mukanya, pertimbangan kami waktu itu , dari pada di pakai untuk terus bayar kontrakan lebih baik dibayarkan untuk cicilan rumah kreditan kami, dan kedepannya meskipun sederhana tapi akan jadi milik kami dan tidak perlu ngontrak lagi. tapi ketika kami menceritakan rencana kami kepada kedua mertuaku itu, benar - benar di luar dugaan kami, mereka marah besar, aku dan istriku dimarahi habis - habisan layaknya anak dan menantu durhaka yang tidak mau menuruti niat baik orang tuanya,setelah itu kami terpaksa membuang jauh - jauh rencana mulia kami, dan mulai saat itu kami tidak pernah berani lagi menentang setiap aturan dari kedua mertuaku itu.
Dan yang lebih tidak aku mengerti, adalah sikap kedua mertuaku itu pada Kinasih sekarang, karena aku tahu betul bagaimana sikap mereka pada Kinasih sebelum aku menikahinya, mereka sangat memanjakan putri bungsunya itu, jangankan bekerja ditempat orang lain, melakukan pekerjaan rumah seperti mencuci atau masak saja mereka melarangnya. kalau sekali - kali terpaksa harus belanja kepasar untuk kebutuhan sehari - hari saja, pasti harus ada yang mengantar. Tapi setelah dia jadi Isteriku smuanya benar - benar terbalik, isteriku malah disuruh untuk bekerja, alasannya untuk membantuku, malahan Bapak mertuaku sendiri yang yang meminta temannya untuk bersedia mempekerjakan Kinasih di konpeksi miliknya, tempat isteriku bekerja sampai sekarang. Mungkin juga karena waktu itu Bapak mertuaku masih aktif sebagai pengusaha pakean jadi dan bisa dibilang lumayan sukses, meskipun tidak sampai sesukses Kang Cahya sekarang sebagai penerusnya, tapi sebenarnya Kang Cahya juga bisa berhasil seperti sekarang, tidak lepas berkat kerja keras bapak mertuaku itu, yang merintis usahanya dari awal dan mendidik kang cahya dengan keras.
*****
Baru saja aku sampai di depan pintu dan sekali mengucap salam, sehabis berjama'ah sholat isya di mushola yang memang tidak jauh dari rumahku, pintu langsung ada yang menbuka dari dalam, ternyata isteriku yang membukakan pintu, sepertinya ia dia sudah menunggu kedatanganku, karena setelah menjawab salamku ia langsung berkata "A,...bapak sama Ibu lagi nunggu kita katanya ada yang mau diomongin" "Emang ada apa,..!!?" tanyaku, tapi istriku hanya menggelengkan kepala sebagai jawabannya, akupun tidak bertanya lagi tapi terus mengikuti isteriku yang sudah lebih dulu berjalan menuju ruangan tengah.Dan benar saja, Bapak dan Ibu mertuaku tampaknya memang sudah menunggu kami, mereka tampak duduk bersebelahan sambil nonton TV, sedangkan Zilki kelihatan sudah tertidur pulas ditas kasur lipat di samping ibu mertuaku, aku dan isterikupun duduk di hadapan mereka.
Setelah beberapa saat kemudian, karena terdorong oleh rasa penasaran aku mencoba membuka obrolan dengan mengajukan pertanyaan pada mertuaku " Maaf ada apa ya pak..?"Bapak mertuaku memandangku sambil tersenyum, dan mulai bicara "Nak Wira..!!"dia menyebut namaku lalu berhenti sejenak sebelum kemudian meneruskan kata - katanya "ada beberapa hal yang mau bapak sama ibu bicarakan sama nak Wira juga Asih" " oh iya pak" sahutku sebagai isyarat aku sudah siap untuk menyimak apa yang mau di sampaikan mertuaku itu, mertuakupun meneruskan bicaranya "Ya mungkin ini agak mendadak tapi ini sudah jadi keputusan bapak sama ibu, minggu depan bapak sama ibu mau pulangkampung dan tinggal disana" aku terperanjat kaget begitu juga dengan isteriku "Tapi kenapa pak apa saya dan Asih berbuat kesalahan yang membuat bapak dan ibu tersinggung..?, kalo begitu kami minta maaf" itu kata - kata yang sepontan keluar dari mulutku, tapi bapak mertuaku segera menimpali kata - kataku dengan tenang dan sambil tersenyum seperti sebelumnya " Tidak, tidak,...ini bukan karena kalian, tapi ini semua emang sudah jadi keinginan kami sejak lama, untuk bisa tenang menghabiskan dan menikmati masa tua di kampung halaman sendiri, bahkan tadinya bapak dan ibu berencana untuk tinggal di kampung sejak kalian menikah, tapi waktu itu tidak bisa, rasanya ada yang mengganjal di hati kami, kami merasa sudah salahdengan cara kami mendidik Asih , kami terlalu memanjakan Asih, kami khawatir setelah Asih menikah dengan nak Wira Asih jadi isteri yang manja dan jadi beban buat nak Wira karena tidak bisa mengurus rumah tangga, jadi kami berusaha memperbaiki kesalahan kami meskipun sebenarnya sudah terlambat" mendengar kata - kata mertuaku itu, aku hanya diam tidak tahu harus mengatakan apa, semua sungguh diluar sangkaanku selama ini, kemudian Bapak mertuaku kembali bicara, kali ini kata - kata mertuaku bikin aku tambah bingung, malahan menutku bisa disebut ngawur, karena beliau memberiku pertanyaan aneh yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan kami "Nak Wira,....kalian tahu kan rumahnya pak Didin yang di sebrang gang itu,,,!!?" tentu saja tahu pak karena setiap hari juga saya lewat situ stiap pulang dan berangkat kerja, Memangnya kenapa ya pak..?" jawabku dengan semua kebingunganku, "Rumah itu lumayan besar di depannya ada bekas toko anak pak Didin dulu, di belakang juga ada ruangan lumayan besar ga kepake, menurut pendapat bapak, rumah itu cocok untuk tempat tinggal kalian, asih bisa berhenti kerja dan membuka toko di bekas toko anak pak Didin itu, kalau jaga toko kan bisa sambil mengasuh Zilki" "Maksud bapa!!" aku memotong omongan mertuaku karena rasanya kebingunganku sudah sampai pada ujungnya, aku benar - benar tidak paham dengan apa yang di bicarakan mertuaku, mertuaku kembali bicara " iya minggu lalu bapak ngobrol -ngobrol sama Pak Didin katanya dia mau di bawa anaknya pindah ke Bandung jadi dia mau menjual rumahnya untuk dibelikan lagi rumah disana, nawarinnya tujuh puluh lima juta, tapi setelah bapak tawar - tawar akhirnya beliau setuju dengan harga enam puluh lima juta, harga yang cukup murah kan meskipun bangunannya sudah agak tua tapi kondisinya masih bagus dan kokoh" "tapi Pak,.." sebelum aku meneruskan kata - kataku, mertuaku kembali bicara seolah dia tidak peduli "Semuanya sudah beres kemarin bapak sudah melunasinya, tapi mungkin kalian baru bisa menempatinya sekitar sepuluh hari lagi setelah pak Didin pindah, dan uangnya, uang kalian yang setiap bulan kalian simpan pada Ibu, jadi rumah itu mutlak milik kalian dan hasil kerja keras kalian".aku dan istriku hanya bisa saling pandang, semuanya sangan tiba - tiba dah sungguh tidak sempat terbayangkan sebelumnya.
Rupanya kejutannya tidak hanya sampai disitu, sekarang giliran Ibu mertuaku yang bicara "nak wira kalau nanti kalian merasa usaha kalian sudah lumayan cukup untuk menutupi kebutuhan sehari - hari kalian, kalian bisa menggunakan ruang belakang yang kata bapak tidak terpakai itu untuk buka usaha konpeksi, kalian bisa mempekerjakan orang lain, Selama ini Asih kan sudah punya pengalaman jadi setidaknya sudah punya gambaran untuk mengelolanya, bapa dan ibu juga kemarin sudah membicarakan rencana kami pada kakakmu Cahya, ia senang dan berjanji akan membantu kalian dalam menjalankan usaha kalian" Aku dan isteriku benar - benar sudah kehabisan kata - kata menerima semua kejutan dari mertuaku itu, kami hanya bisa menarik napas panjang tidak tau harus mengatakan apa, ibu mertuaku kembali bicara "Kalian kan tahu slama ini meskipun tidak banyak , tapi kami masih punya sawah dan ladang di kampung yang di garap sodara Bapak, dan hasilnya kami kumpulkan karena untuk kebutuhan kami selama ini kan numpang sama kalian, jadi ibu pikir akan lebih bermanfaat jika sekarang ibu kasih sama kalian untuk modal usaha kalian nanti" Ibu mertuaku mengakhiri kata - katanyadengan menyodorkan sesuatu yang terbungkus saputangan warna biru muda, "Ambilah itu Untuk kalian" kata Ibu mertuaku, mungkin karena kami berdua hanya menatap bungkusan di depan kami itu tanpa berani mengambilnya, dengan tanganku yang gemetar aku paksakan untuk mengambil bungkusan sapu tangan itu dan menaruhnya di pangkuan isteriku, " bukalah " kata bapak mertuaku ikut menimpali,,,isterikupun dengan tangannya yang gemetar membuka bungkusan saputangan biru muda itu dengan perlahan, jantungku seakan berhenti berdetak ketika bungkusan saputangan itu terbuka, ternyata isinya perhiasan emas berupa kalung, beberapa buah gelang dan beberapa buah cincin, yang bagi kami nilainya sangat tidak sedikit, taksiranku total berat semuanya, pasti tidak akan kurang dari Dua ratus gram.
*****
Mulutku seperti terkunci, tenggorokanku mendadak terasa kering, mungkin sama halnya yang di rasakan isteriku, kami tidak sanggup berucap meski hanya sekedar untuk mengucapkan kata terima kasih pada kedua mertuaku itu, yang tampak tersenyum puas di hadapan kami berdua, mungkin karena telah bisa berbuat sesuatu untuk anak kesayangan mereka, isteriku langsung memeluk tubuh kedua orang tuanya itu, dan menumpahkan semua air matanya tak sudah tidak sanggup untuk dibendung lagi di pangkuan mereka, akupun meraih dan menciaum kedua tangan mertuaku itu bergantian, airmataku pun sama tidak mampu aku tahan, aku hanya bisa menunduk tidak berani memandang wajah kedua mertuaku, aku malu karena selama ini aku telah salah menilai mereka, slama ini aku pikir mereka tikak pernah dan tidak mau peduli dengan kehidupan rumah tangga kami.
Tapi sekarang aku mengerti dan yakin, bahwa setiap orang tua, psti sangat menyayangi dan mengharapkan kebahagiaan anak - anaknya, hanya saja mungkin dengan cara yang berbeda - beda.