Mentari kembali pancarkan sinar keemasannya, berusaha cairkan kebekuan pagi dengan sentuhan hangatnya, burung- burung kecil, kembali menari di ranting- ranting pohon, menyambut riang dengan nyanyiannya yang merdu, Kupu- kupu pun kembali memamerkan keindahan warna- warninya, diantara kepakan sayapnya yang anggun.
satu lagi, kuncup mawar mekar di pagi ini, mawar jingga kesukaanku, yang selalu membuatku merasa iri, setiap kali aku mengagumi keindahannya, " Jika saja hatiku bisa seperti bunga mawar kesayanganku itu, setiap kali ada kelopaknya yang layu dan gugur, selalu mekar kuncup baru sebagai penggantinya "
" Prak,...!!!" Tiba-tiba terdengar suara ada barang yang pecah, suaranya seperti berasal dari arah kamarku, setengah berlari, aku meninggalkan pekarangan, aku masuk kedalam rumah dan langsung menuju kamarku yang pintunya setengah terbuka,
ketika sampai di dalam kamar, aku mendapati Adik laki-lakiku yang baru berumur enam tahun sedang berdiri di samping meja belajarku, dilantai yang tidak jauh dari tempat ia berdiri, tampak pecahan Pas bunga yang terbuat dari keramik berserakan, melihat semua itu, rasanya semua darah di tubuhku naik ke kepala, perasaan kaget, kesal dan marah semuanya bercampur jadi satu, tanpa aku sadari dari mulutku keluar bentakan keras, " Wildaaan,!!!" mendengar bentakan yang aku tunjukan padanya wildan adikku sepertinya benar-benar ketakutan, mimik mukanya sepontan berubah seperti hendak menangis.
Tiba-tiba Ibuku masuk dan bertanya " Ada apa sih,,,,, Masih pagi udah pada ribut " rupanya bentakanku yang setengah sadar itu, sangat keras sehingga sampai terdengar oleh ibu yang sedang berada di dapur, Adiku dengan suara yang gemetar dan terbata-bata karena ketakutan, berkata pada Ibuku " Wildan cuma mau minjam pensilnya kak Salwa " cuma itu yang bisa ia katakan, Ibu langsung meraih tangan Wildan dan menuntunnya keluar kamar, meninggalkanku yang masih berdiri kaku di dalam kamar, sambil menutup pintu kamar dari luar, terdengar ibu bicara dengan segala kekesalannnya " salwa,,,kamu kaya anak kecil aja , itu kan cuma pas bunga, kamu masih bisa beli lagi yang baru, lihat,,, adikmu sampai ketakutan kaya gini,.."
Aku mulai bisa menguasai diriku kembali, tiba-tiba seluruh tubuhku terasa lemas, sepertinya lututku tak sanggup lagi menopang tubuhku untuk terus berdiri, dan akhirnya tubuhkupun ambruk dan terduduk bersimpuh di lantai, setelah beberapa saat aku mencoba untuk menenangkan perasaanku, aku coba menggerakan tanganku untuk mengumpulkan kepingan pas bunga miliku yang kini hanya berupa kepingan keramik yang berserakan di hadapanku, kemudian aku simpan pecahan pas bungaku itu di atas meja belajar yang tidak jauh dari tempat aku terduduk, kemudian dengan sisa tenagaku aku paksakan untuk melangkah ketempat tidur, agar aku bisa merebahkan tubuhku.
Bagi orang lain siapapun itu, pasti akan sama seperti pikiran ibuku, itu hanya pas bunga yang terbuat dari bahan keramik, sama sekali tidak ada istimewanya, barang seperti itu bisa di jumpai dan dibeli dengan mudah di toko-toko cendramata atau toko-toko yang menjual barang seperti itu, jika saja ada yang membuat benda itu berbeda dengan pas bunga yang lainnya, itu hanyalah karena terdapat ukiran namaku yang tertulis disana, tapi untuk itu gampang saja, tinggal pesan saja, di pengrajin keramik manapun pasti bisa, cuma itu keistimewaannya, tidak lebih. Tapi lain bagiku, benda itu bagiku sangat berharga , dan mempunyai nilai yang sangat berarti bagiku, karena bagiku pasbunga keramik itu adalah satu-satunya kenang-kenangan yang tersisa, yang di tinggalkan orang yang sangat aku cintai dan sampai sekarang sejujurnya aku masih menyayanginya, pas bunga itu diberikan kak Fais di hari ulang tahunku yang ke tujuh belas, sebagai hadiah ulang tahun untukku, tapi sekarang benda kesayanganku itu telah hancur berkeping-keping, sebagaimana hancurnya hatiku ketika aku tahu kalau kak fais telah pergi dari hidupku.
Tubuhku terbaring lemah diatas tempat tidur, sedangkan fikiranku melayang jauh terbawa ingatanku ke masa- masa yang pernah aku lalui, semuanya seperti terekam dalam ingatanku, dan kini semua rekaman itu di putar kembali, peristiwa- peristiwa itu, terasa begitu nyata dalam bayanganku, seolah semuanya baru saja terjadi kembali.
Tak kuasa kubendung lagi, tetesan air bening itu pun, meleleh dari sudut-sudut mataku, ada perasaan yang sulit untuk aku ungkapkan, terasa sakit seperti menyayat-nyayat hatiku, perasaan yang sama, seperti ketika untuk pertama kalinya aku menyadari, kalau kak Fais, tidak lagi jadi bagian dari kehidupanku.
( Bersambung )
No comments:
Post a Comment