Sudah sekitar sepuluh menit, ia berdiri di teras rumah yang tampak sepi, " Tidak,,,tidak, aku harus memberikan apa yang jadi hak mereka sekarang juga " kata laki -laki yang berpakaian rapih itu,seolah bicara pada dirinya sendiri, kemudian sambil membetulkan bagian belakang rambutnya yang kelimis, meski sebagian sudah tampak mulai memutih, ia melangkah mendekati pintu rumah, setelah menghela napas panjang untuk sekedar mencoba melepas beban yang terasa menumpuk didadanya, tangannya terlihat digerakan untuk memijit bel yang menempel di samping pintu, bel pun ia tekan beberapa kali, sebelum kemudian ia kembali membalikan badannya dan duduk di salah satu kursi kecil disamping sebuah meja kayu yang terdapat di teras rumah itu, pandangannya terus menyapu kesekeliling pekarangan rumah, " Ternyata tidak banyak yang berubah " gumamnya perlahan, fikirannya seakan melayang kemasa yang sangat lampau.
Laki -laki itu tampak tersentak kaget, saat mendengar pintu rumah ada yang membuka, dan ia hendak bangkit dari duduknya ketika seorang perempuan paruh baya keluar dari dari pintu rumah yang baru saja terbuka, tetapi ia tidak sempat, karena ketika melihat laki -laki itu, si perempuan menubruk laki -laki itu dan merangkulnya, ia pun menangis sejadi -jadinya sambil membenamkan wajahnya di pangkuan laki -laki itu.
" Maafkan saya mas Surya,... maafkan saya mas Surya,..." Cuma kata -kata itu yang berkali -kali keluar dari bibir perempuan itu, disela -sela tangisannya, sedangkan tangan laki -laki yang ternyata bernama Surya itu dengan perlahan membelai rambut perempuan, yang sedang menangis tersedu di atas pangkuannya,
" Sudah, Sudahlah Nilam, semua itu sudah lama berlalu, sebaiknya lupakan saja, sudahlah " Kata pak surya mencoba melerai tangisan perempuan yang ternyata memiliki nama Nilam.
" Tidak mas, kesalahan saya pada mas Surya terlalu besar, saya sudah menghianati mas Surya yang sudah melakukan segalanya untuk saya demi si berengsek Marwan, dosa saya terlalu besar mas, kalau mas sekarang mau menghukum saya, saya akan menerimanya, untuk menebus semua kesalahan saya pada mas Surya" kata ibu Nilam dengan suara terbata -bata, sambil tetap membenamkan wajahnya meskipun tangisannya sudah mulai mereda.
" Tidak, Nilam,..Waktu itu aku memang marah, tapi aku tidak sampai membencimu, dan dari dulu juga aku sudah memaafkanmu, lagi pula, sekarang tuhan sedah menggantinya dengan memberiku sebuah keluarga baru, dan aku cukup merasa bahagia dengan keluargaku yang sekang, peristiwa itu terjadi sudah hampir dua puluh tahun yang lalu, sudah sangat lama, jadi sebaiknya kita lupakan" Jawab pak surya, sambil berusaha mendudukan Ibu Nilam di atas kursi yang ada di sampingnya.
" Sekitar seminggu yang lalu, tanpa sengaja, aku bertemu Darman, ia bercerita banyak tentang kamu dan juga putrimu, jadi sekarang aku sengaja menemuimu, untuk sekedar memastikan keadaan kalian baik - baik saja "Pak surya menjelaskan alasan kenapa ia datang menemui ibu Nilam
" Iya mas, waktu itu,, setelah tidak ada lagi yang bisa Marwan habiskan di meja judi, ia pun mencampakan kami dan menghilang entah kemana, dan di masa - masa sulit itu, Darman lah yang selalu membantu kami, katanya hitung -hitung mambalas semua kebaikan mas Surya, waktu dia masih jadi pegawai kita, semua harta yang mas tinggalkan semuanya benar - benar habis, hanya rumah ini lah satu - satu yang tersisa, untunglah dengan semua bekal ilmu yang mas ajarkan kepada saya, saya mampu untuk bangkit kembali, meski dengan susah payah " Ibu Nilam menceritakan semuanya dengan wajah tetap tertunduk, sepertinya ia tidak sanggup untuk menatap wajah laki - laki yang pernah dihianatinya.
*****
Mungkin karena terlalu larut dalam suasana haru diantara mereka, sehingga mereka tidak menyadari kedaan sekeliling mereka, tidak jauh dari tempat mereka berbincang, seorang gadis muda sedang berdiri dan memperhatikan mereka sejak tadi, mereka baru menyadarinya ketika gadis itu mengucap salam, sambil menjawab salam, Ibu Nilam bangkit dari duduknya kemudian meraih tangan gadis itu dan berkata pak Surya,
" Mas, kenalin ini anak saya Hurin " "Rin, ini om surya, yang sering mamah ceritain itu"
Gadis yang memiliki paras manis dengan rambut panjang terurai, yang bernama Hurin itu pun manggut pada pak surya, lalu mejabat dan mencium tangan pak Surya
" Rin, mamah mau kedalam dulu ngambil minuman buat om Surya sama kamu, kamu temenin dulu om Surya ngobrol ya " Kata Ibu Nilam, sambil terus masuk kedalam rumah untuk menyiapkan minuman, tanpa menunggu jawaban dari anaknya, Hurin pun kemudian duduk di kursi yang tadi diduduki ibunya.
" Kuliahnya semester berapa Rin " pak surya membuka obrolan.
" Sudah semester akhir Om " jawab hurin sambil tersenyum pada pak Surya
" Oh, sudah mau selesai ya, syukur deh " kata pak surya lagi
" eh iya om,, saya senang bisa bertemu dengan om, selama ini mamah bercerita banyak tentang om, saya juga sering melihat mamah menangis kalau lagi sendirian, mungkin mamah sangat menyesali kesalahannya pada om " kata Hurin pada pak Surya.
" Sudahlah Rin, setiap orang juga kan punya jalan takdir masing - masing, itu kan cuma cerita di masa lalu, sebaiknya kita lupain semuanya. Eh iya Rin, sebenarnya maksud om menemui kamu dan ibu kamu selain mau memastikan keadaan kaalian baik -baik saja, om juga mau memberikan ini sama kamu dan ibumu "
kata pak Surya , sambil merogoh tas kulit warna coklat yang dari tadi ia taruh di bawah kursi yang ia duduki, dari tas itu ia mengeluarkan sebuah map lalu disodorkannya pada Hurin.
"Apa ini om" tanya Hurin, sambil membuka map yang di berikan Pak Surya, yang sekarang sudah berada di tangannya.
"Itu, surat - surat tanah di beberapa tempat, dulu om beli waktu masih menikah dengan ibumu, tadinya,,, ya sekedar buat investasi saja " pak surya menjelaskan
"Kenapa di berikan sama saya dan ibu Om" Hurin tampak tidak paham dengan maksud Pak Surya
"waktu itu om membelikan atas nama ibumu, karena waktu itu om memang berniat membelikannya buat ibumu, tapi peristiwa itu keburu terjadi, dan om pergi tanpa sempat memberikannya, jadi tanah -tanah itu memang hak kalian, dan om minta maaf, karena baru sekarang om bisa memberikannya".
" Tapi om,...." Cuma itu kata yang keluar dari mulut Hurin, karena Pak Surya segera memotongnya
" Sudah, sudah, lebih baik sekarang kamu gunakan semuanya dengan baik, untuk menambah modal usaha ibu kamu, atau buat apa sajalah, yang penting bisa bermanfaat buat masa depan kamu dan ibumu, tapi kalau boleh om mau minta kamu berjanji beberapa hal sama om "
"Berjanji apa om" Hurin tampak sangat penasaran
"Pertama om minta, kamu mau berjanji untuk selalu menjaga ibumu sebaik mungkin, karena sekarang kamulah satu - satunya yang ia miliki,
Kedua, ibumu telah bersusah payah dan banyak berkorban untuk membesarkan dan mendidik kamu seorang diri, jadi om minta kamu berjanji akan berbuat sebaik mungkin untuk membuat ibumu merasa bangga dan merasa semua pengorbanannya selama ini tidaklah sia - sia,
Dan yang terakhir, mungkin ayahmu pernah memperlakukan kamu dan ibumu dengan sangat tidak baik, om bisa maklum kalau kamu membenci kelakuan ayahmu itu, tapi om minta, kamu berjanji untuk tidak membenci ayahmu, karena bagai manapun juga, dia itu tetap ayahmu, dia juga laki -laki yang pernah menikah dengan ibumu dan juga teman baik om, jika suatu hari nanti, dia datang untuk meminta maaf, dan bersungguh -sungguh menyesali perbuatannya, om harap kamu mau berusaha untuk memaafkannya" pinta pak Surya pada Hurin
"Iya terima kasih om, saya berjanji dan akan melakukannya sebaik mungkin" jawab Hurin sambil menganggukan kepalanya
Pak Surya pun tersenyum senang, tangannya menepuk pundak Hurin perlahan sambil berkata "Kamu memang anak yang baik, om bangga sama kamu"
Setelah merasa semua keperluannya sudah selesai, Pak Surya pamitan pada Ibu Nilam dan juga Hurin, ia pun pergi meninggalkan mereka dengan membawa hati lega, ia merasa semua beban yang selama bertahun -tahun mengendap dalam hati dan fikirannya, kini benar -benar buyar dan hilang seperti terbang terbawa angin,
Sementara kedua perempuan ibu dan anak itu, keduanya masih terlihat berdiri di teras rumah mereka, pandangan mereka mengantar kepergian laki - laki yang menurut mereka memiliki Hati seluas samudra