Laman

Thursday, August 1, 2013

Cerpen : JANJI TERAKHIR

"Apa mungkin ini firasat kurang baik " Seolah aku bertanya pada diriku sendiri, entah apa yang jadi penyebabnya, sejak pagi tadi, perasaanku rasanya tidak karuan, sudah kucoba untuk mengabaikannya, tapi tetap saja, perasaan gelisah itu tidah mau beranjak dari hatiku.

Bahkan saat tadi di tempat kerja , aku benar - benar tidak bisa menfokuskan fikiranku pada pekerjaan, untunglah, mbak Dewi ( kepala kasir, sekaligus orang yang bertanggung jawab di Toko swalayan tempat aku bekerja ), memberiku izin untuk pulang lebih awal,

" Iya gak apa -apa, kamu pulang aja Rin,...Wajah kamu kelihatan pucat, sebaiknya kamu segera periksa ke Dokter, takutnya kenapa - napa "  Jawaban perempuan berpostur tubuh agak pendek, yang memiliki kulit putih mulus itu, ketika aku memohon izin pulang.

"Apa perlu ada yang mengantar Rin,?" Tambahnya lagi, menawarkan niat baik.

"Oh gak usah mbak,..Saya cuma merasa aga pusing aja ko!", jawabku
Ia hanya tersenyum sambil menganggukan kepala, tanda mengerti.


*******

Baru saja kurebahkan tubauhku di kursi yang ada di ruang tamu, tiba - tiba pintu depan terdengar ada yang mengetuk dari luar beberapa kali, diikuti suara ucapan salam, kupaksakan tubuh lunglaiku untuk bangkit, setengah kuseret kedua kakiku untuk melangkah ke arah pintu.ternyata, seorang laki - laki berbadan tegap, berambut pendek, dengan setelan jaket kulit warna hitam dan celana Blue jeans, sedang berdiri menunggu, ia manggut  kepadaku, ketika aku bukakan pintu, tapi detak jantungku tiba -tiba berdetak lebih kencang ketika aku melihat kepada laki -laki berambut cepak dan memakai seragam Polisi lengkap, yang berdiri di belakang  laki -laki tadi. wajar saja jika aku merasa kaget, karena seumur hidup mungkin baru kali ini ada polisi yang bertamu kerumahku, "ada keperluan apa gerangan " kataku dalam hati

"selamat siang Bu,....!!" sapa laki - yang masih berdiri di depanku, seperti sengaja menyadarkan aku yang hanya mematung karena terkesima.

" Oh se, selamat siang juga pak,...silahkan masuk pak " akhirnya akupun tersadar, dan mempersilahkan kedua tamuku itu masuk, setelah kami bertiga duduk diruang tamu, laki -laki yang memakai jaket memulai membuka pembmbicaraan tanpa menunggu aku bertanya maksud kedatangan mereka,

" sebelumnya saya minta maaf jika kedatangan kami membuat ibu merasa kaget, saya Joko dan ini teman saya bambang, kami dari kepolisian " kata tamuku itu memperkenalkan diri, akupun menanggapinya hanya dengan menganggukan kepala sambil kupaksakan untuk melontarkan senyuman, mekipun sebenarnya hatiku masih tidak karuan karena rasa kaget becampur aduk dengan rasa penasaran.

"Begini,  ibu maksud kedatangan kami kesini karena kami menerima pengaduan dari seseorang, dan alamatnya kalau kalau tidak salah sesuai dengan alamat ini, apa benar ini alamat ibu, kalau benar ibu ini siapanya pak Ilham,..dan sekarang pak Ilhamnya berada dimana,..."  Duuk,...rasanya seperti ada yang menumbuk pada ulu hatiku, ketika anggota polisi dihadapanku mencecarku dengan berbagai pertanyaan seolah sedang mengintrogasiku, terlebih ketika nama suyamiku mereka sebut,

Aku tidak segera menjawab pertanyaan tamuku itu, dengan tangan gemetar karena tidak sanggup lagi menyembunyikan perasaanku, aku mengambil selembar kertas putih ukuran A4 yang di sodrkan anggota polisi yang baru saja mengintrogasiku, aku lihat dan aku baca tulisan di kertas itu, isinya nama suamiku berikut alamat lengkap rumahku, juga ana nama perusahaan tempat suamiku bekerja selama ini di sertai alamat lengkapnya,

kucoba untuk menguasai diriku sebisaku, dengan menarik nafas panjang beberapa kali, kemudian aku coba untuk memberi jawaban semua pertanyaan mereka
" Iya pak,,,betul sekali ini alamat saya, sesuai dengan yang tertulis di sini, saya Rina, isterinya mas Ilham, tapi kalau bapak menanyakan keberadaan suami saya sekarang, setahu saya suami saya masih belum pulang, karena dia bekerja di luar kota, dan biasany setiap sebulan sekali dia suka pulang tapi sudah tiga bulan terakhir ini, dia belum pulang terakhir dia menghubungi saya sekitar tiga minggu yang lalu, di telponnya dia bilang belum bisa pulang karena masih sibuk dengan pekerjaannya,  dan alamat yang di bawah ini adalah nama perusahaan tempat suami saya bekerja dan alamat lengkapnya " Aku membeberkan semua yang aku tahu tentang keberadaan suamiku  pada kedua tamuku, mendengar semua penjelasanku mereka berdua mengangguk tanda mengerti.

"Memang sebenarnya ada masalah apa ya pak dengan suami saya? "  pertanyaan itu terlontar begitu saja dari bibirku, mungkin karena rasa penasaran yang sudah menggunung dalam dadaku dan hampir tidak sanggup untuk aku pendam lagi.

" Begini bu,...Berdasarka pengaduan dari pihak perusahaan tempat suami ibu bekerja, katanya selama setahun terakhir ini suami ibu sudah menggelapkan uang perusahaan sekitar Rp 75 000 000, dan sudah sekitar tiga bulan suami ibu meninggalkan perusahaan tempat dia bekerja "

Mendengar penjelasan anggota polisi tersebut, pandanganku tiba -tiba berubah gelap, tubuhku terasa lemas seperti semua tulang -tulangku rasanya seperti copot dari persendiannya, hatiku benar -benar remuk, aku tidak punya tenaga lagi meski sekedar untuk menegakan kepalaku, sedangkan kedua kedua tamuku itu, untuk beberapa saan hanya diam, sambil memandangku dengan tatapan iba.

Setelah mereka melihatku mulai bisa menguasai diriku sendiri, merekapun pamitan " Sekali lagi kami minta maaf, mungkin untuk saat ini cuma itu, informasi yang kami butuh kan dari ibu, kami mohon pamit tapi kalau nanti ada informasi lain perihal suami ibu, kami harap ibu bersedia menghubungi kami " Kata laki -laki yang memakai seragam polisi yang dari sejak datang hanya diam mendengarkan percakapan kami dengan kawannya, sambil mengasongkan selembar kartu nama, akupun menerima dan menaruhnya di atas meja di depanku.

Seusai mengantarkan kedua laki -laki yang mencari tahu keberadaan suamiku itu, sampai depan rumah ku hempaskan kembali tubuhkudi atas kursi, air bening itu terus meleleh dari sudut -sudut mataku, tidak sanggup aku hentikan, ada rasa sakit yang menyeyet -nyatat hatiku yang terasa sudah hancur berkeping -keping,
" mas Ilham kenapa mas tega berbuat seperti ini kepadaku, apa salahku, kurang apa aku yang selama ini selalu berusaha menerima dan selalu memaafkan setiap kesalahan yang kamu lakukan padaku " gumamku dalam batin, fikiranku melayang teringat kembali janji -janji manis pria tinggi berwajah tampan dengan rambut sedikit bergelombang, janji -janjinya begitu indah, bak keindahan warna warni pelangi yang membuat hatiku terlena dan menumbuhkan harapa -harapan tentang kebahagian yang aku idamkan dalam hidupku, sampai kemudian dia resmi jadi suamiku, perlahan aku mulai mengenal bagaimana sifat mas ilham yang sebenarnya, jaji hanyalah tinggal janji, semakin sering ia berjaji semakin sering juga aku harus menerima getirnya kekecewaan karena janji yang teringkari.

dua tahun sudah usia pernikahan kami, sekalipun aku tidak pernah mengeluhkan tentang suamiku, malahan aku berusaha sebisaku untuk menutupi setiap kesalahan suamiku kepadaku dari kedua orang tuaku karena bagaimanapun dia adalah suamiku, aku tidakj ingin ada orang yang memandang jelek kepadanya termasuk kedua orang tuaku, meskipun itu kenyataannya, tidah habis fikir, di pakai buat apa uang sebanyak itu oleh suamiku, bukankan dari pertama kali kami berumah tangga aku tidak pernah menuntut banyak pada suamiku, terutama urusan materi, aku hanya menerima apa yang ia beri, itupun tidak lebih dari setengah gaji suamiku, akupun tidak pernah merasa keberatan apalagi sampai mengeluhkannya, karena beban rumah tangga kami memeng belum terlalu berat, tidak perlu membayar biaya sewa rumah karena karena kami masih numpang di rumah kedua orang tuaku, sesuai keinginan mereka, alasannya biar ada teman karena ketiga kakak -kakakku sudah pada punya rumah sendiri, kami juga belum harus menanggung beban anak, karena memang sudah jadi kesepakatan kami sejak awal pernikahan kami, untuk tidak punya anak dulu sampai keadaan rumah tangga kami agak sedik mapan dan bisa mandiri, kalau kebetulan ada kebutuhan yang mendadak, aku tidak pernah meminta apalagi mengandalkan suamiku, sebagai jalan keluarnya, aku pinjam di tempat kerjaku, dan untuk membayarnya di potong dari gajiku tiap bulan, "apa mungkin benar, seperti desas - desus yang selama ini sampai ketelingaku tapi tidak pernah aku hiraukan, kalau selama ini suamiku suka main perempuan, atau bermain serong di belakangku dengan perempuan lain " perasangka -perasangka burukpun mulai bermunculan dan berkecamuk dalam fikiranku, tapi entahlah karena aku tidak menemukan jawabannya, yang aku temukan hanya rasa perih dihatiku dari luka yang terasa semakin dalam.

Ibuku muncul dari ruang tengah dan menghampiriku, beliau duduk di disampingku lalu meraih kepalaku untuk dirapatkan ke dadanya, sementara tangan kanannya mengelus - ngelus punggungku dengan lembut, dekapannnya terasa hangat, memberiku rasa nyaman, pada saat perasaanku sedang kacau, tuturnya lirih terasa sejuk di hatiku yang sedang gersang "Rin,,,,kamu sabar ya kamu harus tabah dan kuat menjalani semua cobaan ini, Tuhan itu maha penyayang ia sangat menyayangi setiap makhluknya, ia tidak akan memberikan ujian diluar batas kemampuan hambanya, ibu yakin kamu bisa, kamu mampu melewati semua ujian ini "kata -kata ibuku seperti sedikit memberiku kekuatan baru untuk menerima kenyataan pahit yang sedang aku terima, rupanya tadi diam -diam ia mendengarkan perbincanganku dengan kedua anggota polisi tadi dari ruang tengah.


 *******

Awan hitam menggelayut di langit senja, Sepertinya nanti malam hujan akan turun cukup deras, jalananpun tampak agak lengang, sudah sekitar duapuluh menit aku berdiri di trotoar jalan, tapi belum satupun angkutan kota yang lewat untuk aku stop, agar segera sampai di rumah dan bisa melepas semua kepenatanku.

tiba -tiba sebuah sepedah motor berhenti tepat di depanku, meski si pengendaranya hanya membuka kaca helemnya, aku tidak mungkin tidak mengenalinya, karena dia adalah laki -laki yang selama tiga minggu ini aku coba hubungi tapi usahaku sia -sia, nomor ponselnya selalu tidak aktif setiap kali aku mencoba menghubunginya, sudah aku coba pula bertanya pada semua teman -temannya yang aku tahu, tapi jawabannya selalu sama, mereka tidak tau keberadaan mas Ilham Suamiku itu. kini laki -laki itu tiba -tiba muncul begitu saja di hadapanku, sungguh membuatku kikuk, tidak tau harus bagaimana menghadapinya.

sepertinya mas Ilham tidak mau peduli dengan semua kebingunganku, " Rin,,,ayo naik aku mau bicara, tapi jangan disini " kata suamiku dengan nada datar, entah ini sebuah permohonan atau sebuah perintah, tidak sempat aku memikirkannya, ucapan suamiku itu seperti menghipnotisku sehingga aku pun menuruti keinginannya, Sepedah motor melaju tidak begitu kencang, kemudian belok dan berhenti di sebuah taman kota, lalu mas Ilham mengajaku untuk unduk di sebuah bangku taman di antara rimbunnya pepohonan.

Untuk beberapa saat tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut kami berdua,mas Ilham hanya memandangiku lekat -lekat dengan tatapannya yang berkaca -kaca, kedua tangannya menggenggam tanganku, sedang aku hanya menunduk tidak kuasa mengengkat wajahku, entah kenapa,, jadi ada rasa canggung pada suamiku itu, ketika sekali -kali aku mencuri -curi pandang, ada rasa iba terselip dalam perasaanku, karena melihat keadaan mas ilham suamiku, yang jauh berbeda jika di bandingkan dengan sekitar empat bulan yang lalu ketika terakhir aku melihatnya, sekarang agak kurus dan tampak tidak terurus, tidak terlihat lagi kemeja yang tersetrika rapi, yang selalu dia kenakan, yang ia kenakan sekarang hanya kaos oblong dilapisi jaket. tidak aku kulihat lagi rambutnya yang selalu rapi dan tampak kelimis, yang ada sekarang tampak kusut dan sudah agak panjang sehingga bagian pinggirnya sudah hampir menutupi telinga.

Dengan suara parau dan agak terbata -bata, suamiku bicara memecah kebisuan diatara kami " Rin,,,, ingin rasanya aku minta maaf, tapi aku rasa percuma saja, karena kesalahanku sudah terlalu banyak, sudah terlalu sering aku membuat kamu kesewa, sudah terlalu banyak janji -janji yang aku ingkari"

sejenak ia menghentikan kata -katanya seperti mencoba menguasai dirinya kembali supaya tidak terlalu terbawa perasaan, kurasakan genggaman tangannya semakin erat,  sedangkan aku tetap tidak bergeming dalam kebisuanku, dengan kepala tetap tertunduk, hanya air mataku yang menitik tidak henti, menghujani pangkuanku,

Terdengar kembali mas Ilham meneruskan kata -katanya " Aku sudah minta maaf dan bicara dengan bosku yang dulu, ia sudah mencabut tuntutannya dan bersedia menyelesaikan masalah kami dengan cara damai, asal aku besesdia mengganti semua uangnya dengan cara menyicilnya.

dan ini adala janji terakhir, segaligus permohonan terakhirku, aku berharaf kamu masih sudi memberiku kesempatan sekali lagi, dengan memberiku sedikit waktu untuk memperbaiki semua kesalahanku selama ini, dan berusaha menepati janji terakhirku, aku tidak meminta jawaban kamu, tapi suatu saat nanti aku pasti akan menemuimu kembali, dan kita bisa memulai lagi semuanya dari awal "

Setelah mengakhiri kata -katanya, aku merasakan suamiku mengendurkan genggaman tangannya, lalu melepaskannya perlahan, iapun kemudian bangkit lalu pergi meninggalkanku setelah menyampatkan diri mengecup keningku. aku hanya bisa menatap kepergiannya dengan segunung pertanyaan untuknya yang tidak sempat terungkapkan, akhirnya bayangannya hilang dari pandanganku, menyisakan hanya satu pertanyaan untuk diriku sendiri " Masih pantaskah, ia mendapat kesempatan untuk berusaha menepati janji terakhirnya?!! "